-->

Kasus video seks: Apa hukum yang tepat bagi penebar 'revenge porn'?

Kasus video seks: Apa hukum yang tepat bagi penebar 'revenge porn'?

Menyebarkan revenge porn atau balas dendam dengan menyebarkan video porno, sungguh merusak emosi perempuan korban, kata pengamat.


Kasus video intim yang beredar viral di internet membuat warganet terus menerus menguliti sosok AH, perempuan yang sesungguhnya adalah korban.

Nama lengkap AH sejak 25 Agustus ramai diperbincangkan, tapi lain halnya dengan laki-laki teman dekatnya yang diduga penyebar video 'revenge porn' — istilah yang dipakai oleh beberapa warganet.

Sementara itu, Wahyudi Djaffar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memakai istilah 'kejahatan siber terhadap perempuan'.

Menurut dia, kasus semacam ini 'isunya agak unik', terjadi di banyak kasus ketika perempuan ditempatkan dalam posisi yang terintimidasi.

Dan, menurut penilaian Deputi Direktur Riset ELSAM ini, konteksnya saat ini adalah mendorong, juga memastikan, penegak hukum menempatkan perempuan dalam kasus ini sebagai korban.

''Korban pada mulanya consent (setuju) dengan tindakan itu (seks), tapi justru mengalami pelakuan begini (video diunggah tanpa izin). Efek dari kejahatan semacam ini, si perempuan akan mengalami yang dikatakan penyiksaan emosional. Dia akan mengalami tekanan terus-menerus yang akan berdampak secara psikis maupun fisik,'' kata dia.

''Itu tidak terjadi pada laki-laki.''

Sampai Jumat (27/10), nama lengkap korban sudah dikicaukan hingga lebih dari 13 ribu kali di Twitter dan menjadi bulan-bulanan di media sosial. Tidak demikian dengan nama teman laki-lakinya.

Memahami delik penyebaran

Lalu tindakan hukuman seperti apa yang seharusnya berlaku di kasus semacam ini? Wahyudi menilai kalaupun akan dikenakan hukuman maka fokusnya pada 'penyebar', bukan siapa 'yang terlibat di dalam video'.

Tapi, bukankah UU Pornografi, misalnya, ikut menjerat Ariel, penyanyi Noah yang juga pernah terjerat undang-undang ini?

''Itu dia, sebetulnya yang harus diingatkan dengan UU Pornografi itu adalah sepanjang memproduksi (video intim) untuk dirinya sendiri itu sebenarnya tidak dilarang. Sepanjang tidak disebarluaskan,'' ujar Wahyudi.

Kasus video seks: Apa hukum yang tepat bagi penebar 'revenge porn'?
Sampai hari ini, nama lengkap korban sudah dikicaukan hingga lebih dari 13 ribu kali di Twitter dan menjadi bulan-bulanan di media sosial.

Dalam kasus ini, Wahyudi menilai yang memiliki intensi menyebar video intim tersebut adalah pasangan AH.

''Meskipun akhirnya dalam kasus Ariel dia kena UU Pornografi dan yang menyebarkan kena UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tapi ini posisinya perempuan. Dia berbeda.''

Pada kasus kejahatan siber terhadap perempuan, Wahyudi kembali menguraikan bahwa 'ada unsur ancaman yang menempatkan perempuan mengalami penyiksaan emosional' dan kasus semacam ini memang dipakai pelaku yang ingin 'menghancurkan reputasi' korban.

Sedangkan Arinta Dea Dini Singgi, analis gender LBH Masyarakat, menilai ada kekosongan peraturan untuk kasus semacam ini.

''Dan, kalau menggunakan UU yang ada misalnya UU ITE dan UU Pornografi, aturan itu tidak membedakan antara pelaku dan korban. Jadi semuanya dipukul rata,'' kata Arinta berpendapat senada.
''Jadi pukul rata, dalam kategori transmisi elektronik yang menerima dan mengirim bisa kena semuanya.''


Pelanggaran privasi

Menurut Arinta tidak ada yang salah dengan hubungan intim yang didasari kesepakatan bersama, lalu kemudian memutuskan untuk merekam kegiatan tersebut. ''Semua orang punya hak atas privasi mereka, untuk melakukan seks konsensual dan untuk merekam.''

Tapi, lanjut dia, problem muncul ketika salah satu pihak sengaja menyebar, melakukan pelanggaran privasi, dan 'lagi-lagi yang menjadi sorotan hanya perempuan'.

''Stigma di masyarakat, perempuan harus jadi perempuan baik-baik. Kalau misalnya dia melakukan seks di luar nikah dia perempuan nakal atau perempuan tidak benar dalam tanda kutip. Sedangkan kalau laki-laki melakukan seks di luar nikah dia macho atau dimaafkan karena namanya juga laki-laki.''

Dalam kasus kejahatan siber terhadap perempuan, kadang korban rentan dijerat UU Pornografi

''Di Komnas Perempuan ada unit pengaduan relawan, mereka sering dapat pengaduan dari masyarakat. Mereka sering cerita kebingungan mesti gimana, karena tidak ada peraturan yang bisa melindungi korban,'' urai Arinta.

''Korbannya rentan dijerat UU Pornografi, walaupun kita masih bisa challenge itu.''
Gerakan untuk memberantas revenge porn dari internet sudah dimulai oleh perusahaan-perusahaan seperti Google yang berjanji mencegah konten semacam itu muncul dalam pencarian mesin pencari mereka, khususnya yang terkait dengan foto telanjang tanpa ada persetujuan.

Hal ini muncul dua bulan setelah hadir aturan baru di Inggris dimana revenge porn mulai dikategorikan sebagai kejahatan sejak April 2015.

Sedangkan menurut catatan ELSAM dari 35 kasus pelaporan pidana terhadap perempuan yang mereka rekam, mayoritas adalah kasus penghinaan (83%), penyebaran kebencian (8%), kesusilaan (6%), dan ancaman (3%).